Beberapa bulan yang lalu, seorang penghuni penjara ditemukan tewas gantung diri di salah satu Lapas yang ada di Kota Bandung. Motifnya tentu saja sangat mudah ditebak : hutang yang menumpuk dan tekanan yang ia rasakan di dalam penjara.
Hidup di penjara tidak sama dengan hidup di asrama. Biarpun makan 3x sehari, tetapi menu yang disajikan nyaris tidak pernah enak. Nasi kualitas buruk. Sayur dimasak asal. Rasa tidak karuan. Warga binaan (nama lain penghuni penjara) yang memiliki uang lebih memilih membeli makan di kantin penjara. Ironisnya, semua harga barang dan makanan yang dijual disana lebih tinggi dua kali lipat dari harga diluar penjara. Shampoo sachet yang biasa dijual 500 rupiah, bisa dihargai 2.000 rupiah. Satu gelas kopi yang biasa dijual 1.000-1.500 rupiah, dihargai 2.500 rupiah per gelasnya. Satu liter minyak kelapa yang biasanya bisa didapat dengan harga 16.000-20.000, melonjak menjadi 40.000. Seorang warga binaan membeli bumbu dan bahan unuk keperluan memasak satu kali sebesar 150.000. Padahal jika dihitung menggunakan harga pasaran, jumlahnya tidak akan melebihi 70.000.
Hidup di penjara adalah cekikan bagi warga binaan yang miskin. Sebagian kecil diantara mereka bahkan berani mencuri barang milik sesama warga binaan, hanya untuk dijual dan hasilnya digunakan untuk biaya hidup sehari-hari.
Dari segi tempat tinggal, dalam satu sel, terdapat tembok tinggi tempat warga binaan tidur, lantai, dan sepetak tempat yang dibatasi dinding setinggi satu meter untuk buang air dan mandi. Bisa dibayangkan, bagaimana melakukan makan, tidur, dan buang air dalam satu tempat. Boy, seorang warga binaan, mengaku sudah terbiasa makan dengan pemandangan temannya yang sedang buang air. Bagi mereka itu sudah biasa. Bahkan ada juga satu sel yang sering dijadikan tempat transit warga binaan sebelum ditentukan akan tinggal di Lapas mana dia menetap. Sel tersebut dihuni oleh lebih dari 30 orang warga binaan, dengan ukuran sel 5x5m, dan semuanya tidur, makan, dan juga buang air disitu.
“Jangan coba-coba kabur dari penjara. Karena jika berhasil, dan kembali tertangkap, maka habislah dia. Hancur dia,” begitu ungkap salah seorang warga binaan yang menceritakan kasus kabur di Lapasnya beberapa waktu yang lalu. Semua tekanan itulah yang menyebabkan banyak warga binaan nekat bunuh diri atau mencoba melarikan diri.
Terlepas dari baik dan buruknya seorang nara pidana, ada satu hal yang mungkin sangat mereka pahami dan belum tentu kita ketahui : kebebasan dalam melakukan segala sesuatu. Berjalan-jalan di sore hari, menghirup udara segar, membeli jajanan dengan harga murah, pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, berkumpul bersama keluarga, adalah hal-hal sederhana yang jarang kita syukuri, yang sebetulnya hal-hal semacam itu sangat dirindukan bagi sebagian orang.
Dari warga binaan kami belajar. Bagaimana seharusnya kami mensyukuri kemerdekaan dan kebebasan.
Contributor & Content Rewritter : Zahra Shafiyah
Hidup di penjara tidak sama dengan hidup di asrama. Biarpun makan 3x sehari, tetapi menu yang disajikan nyaris tidak pernah enak. Nasi kualitas buruk. Sayur dimasak asal. Rasa tidak karuan. Warga binaan (nama lain penghuni penjara) yang memiliki uang lebih memilih membeli makan di kantin penjara. Ironisnya, semua harga barang dan makanan yang dijual disana lebih tinggi dua kali lipat dari harga diluar penjara. Shampoo sachet yang biasa dijual 500 rupiah, bisa dihargai 2.000 rupiah. Satu gelas kopi yang biasa dijual 1.000-1.500 rupiah, dihargai 2.500 rupiah per gelasnya. Satu liter minyak kelapa yang biasanya bisa didapat dengan harga 16.000-20.000, melonjak menjadi 40.000. Seorang warga binaan membeli bumbu dan bahan unuk keperluan memasak satu kali sebesar 150.000. Padahal jika dihitung menggunakan harga pasaran, jumlahnya tidak akan melebihi 70.000.
Hidup di penjara adalah cekikan bagi warga binaan yang miskin. Sebagian kecil diantara mereka bahkan berani mencuri barang milik sesama warga binaan, hanya untuk dijual dan hasilnya digunakan untuk biaya hidup sehari-hari.
Dari segi tempat tinggal, dalam satu sel, terdapat tembok tinggi tempat warga binaan tidur, lantai, dan sepetak tempat yang dibatasi dinding setinggi satu meter untuk buang air dan mandi. Bisa dibayangkan, bagaimana melakukan makan, tidur, dan buang air dalam satu tempat. Boy, seorang warga binaan, mengaku sudah terbiasa makan dengan pemandangan temannya yang sedang buang air. Bagi mereka itu sudah biasa. Bahkan ada juga satu sel yang sering dijadikan tempat transit warga binaan sebelum ditentukan akan tinggal di Lapas mana dia menetap. Sel tersebut dihuni oleh lebih dari 30 orang warga binaan, dengan ukuran sel 5x5m, dan semuanya tidur, makan, dan juga buang air disitu.
“Jangan coba-coba kabur dari penjara. Karena jika berhasil, dan kembali tertangkap, maka habislah dia. Hancur dia,” begitu ungkap salah seorang warga binaan yang menceritakan kasus kabur di Lapasnya beberapa waktu yang lalu. Semua tekanan itulah yang menyebabkan banyak warga binaan nekat bunuh diri atau mencoba melarikan diri.
Terlepas dari baik dan buruknya seorang nara pidana, ada satu hal yang mungkin sangat mereka pahami dan belum tentu kita ketahui : kebebasan dalam melakukan segala sesuatu. Berjalan-jalan di sore hari, menghirup udara segar, membeli jajanan dengan harga murah, pergi ke pusat-pusat perbelanjaan, berkumpul bersama keluarga, adalah hal-hal sederhana yang jarang kita syukuri, yang sebetulnya hal-hal semacam itu sangat dirindukan bagi sebagian orang.
Dari warga binaan kami belajar. Bagaimana seharusnya kami mensyukuri kemerdekaan dan kebebasan.
Contributor & Content Rewritter : Zahra Shafiyah