Narasumber : dr. Elvine Gunawan SpKj
Kita tidak bisa berubah kalau diri kita tidak termotivasi untuk berubah. Konsep holistik Bio-Psiko-Sosial-Budaya-Spiritual. -Biologis, Kita yang menentukan kita akan berperilaku seperti apa, merespon emosi seperti apa, -Psikologis, yang sudah lama terbentuk sedari kecil, dari pola asuh, masalah yang kita hadapi, -Sosial, bagaimana kita berinteraksi dengan seseorang, bagaimana teman menghargai kita, hubungan interpersonal, -Budaya, setiap orang akan berbeda tergantung dari tiap suku mana dia berasal, -Spiritual, setiap orang mempunyai spiritual yang berbeda karena masing-masing punya nilai-nilai religius yang berbeda, sehingga nanti konsepnya berbeda. Pendekatan personal CBT tentunya akan berbeda-beda, karena kita memiliki nilai-nilai yang berbeda.
Hal penting yang ada dalam CBT adalah :
– Menyederhanakan masalah, bagaimana caranya kita memfokuskan suatu permasalahan untuk diselesaikan.
– Fokus pada saat ini, dan momen sekarang. Tidak berfokus ke masalalu. Tidak membahas lagi masalah trauma masa kecil, tidak membahas apapun namun mulai fokus membahas saat ini dan momen sekarang apa yang bisa dilakukan. Karena masa lalu hanya menjadi bumbu kenapa seseorang mengambil respon seperti ini, tapi kita tidak menyelesaikan masa lalu kita, namun menyelesaikan masalah yang terjadi saat sekarang.
– Melakukan secara konsisten dan persisten, walaupun rasanya tidak nyaman.
– Proses belajar yang berkelanjutan, sehingga sebagai konselor atau sebagai seorang terapis kita mengajarkan ke pasien ini bahwa proses yang harus dilewati tidak akan langsung loncat ke proses akhir. Di dalam proses ini mungkin akan ada sesuatu yang akan membuat pasien menjadi tidak nyaman, tidak enak, namun hal ini harus tetap dilewati sampai titik akhir. Karena hal inilah kita perlu mengedukasi pasien bahwa sebenarnya hal ini bukan kamu resisten, bukan kamu enggak mau sama saya, tapi mungkin motivasi untuk berubah masih perlu ditambah sedikit. Mungkin kamu tidak secepat teman-temanmu yang lain tapi kamu tetap berproses. Nah itu diajarkan ke pasien sehingga ketika ada kegagalan, pasien tidak melihat itu sebagai suatu kegagalan hasil akhir. Tetapi pasien akan berpikir bahwa diproses ini ada yang tidak baik dan tidak sempurna, nggak apa-apa nanti kita coba lagi sehingga pasiennya bisa lebih percaya diri.
– Mengajak pasien untuk mempelajari bagaimana emosinya, bagaimana respon emosinya, bagaimana respon perilaku dia dan mengajaknya untuk mencoba hal yang baru. Misalnya pada pasien pecandu, misalnya kalau dia stres dia makan obat jumlahnya banyak, nah kita ajarin pasien ada enggak cara lain yang bisa kamu pakai kalau kamu lagi stres mungkin caranya tidak dengan menggunakan obat ada cara yang lain enggak sih, atau misalnya kalau saya ribut sama orang saya sering banting barang, kita bisa ngajarin ke pasien gimana ya caranya supaya kalau misalnya kamu ribut jangan banting-banting barang. Mungkin mau bisa mukulin boneka banting-banting guling gitu sehingga itu akan menjadi suatu solusi baru ketika ada stres atau ada masalah. Sehingga nantinya sampai satu titik pasien bisa paham ada cara pikir baru ketika ada masalah yang datang ada cara pikir baru untuk menyelesaikan masalah.
Jadi CBT itu suatu proses, tidak menawarkan suatu hasil akhir yang instan. Ini yang menjadi masalah ketika orang-orang ini mau berubah, tapi keinginannyaa instan. Pengennya cepet, murah, waktunya juga singkat dan tidak menyebabkan masalah yang bermakna. Padahal kita tahu bahwa suatu proses dari bad habit ke good habit itu memerlukan suatu ketidaknyamanan karena kita dipaksa keluar dari zona nyaman, yang kedua adalah kita harus terus belajar karena proses pembelajaran itulah yang menjadi awal perubahan. Yang terakhir adalah perlu konsisten.
Jadi fokusnya adalah pada proses kognitif, proses ketika dia menerima stimulasi, lalu kita mulai evaluasi ini mengajarkan pasien mengenali pikiran pasien yang salah. Yang kedua adalah emosi negatif yang muncul ketika kita menerima stimulus, itu mesti kita catat baik-baik. Yang ketiga adalah respon perilaku, judulnya juga cognitif behavior therapy kita menilai kognitif respon emosi dan respon perilaku. Yang diajarkan kepada pasien adalah mengenali ranjau-ranjau dia yang bisa menyebabkan dia jatuh itu apa, lalu mengajak dia untuk menganalisis “apa sih yang menyebabkan dia bisa jatuh?”, “apa sih yang menyebabkan dia memberikan respon perilaku yang buruk?”, dan mengajarkan pasien untuk berubah. Sebagai fasilitator kita hanya sebagai Agent of Change yang hanya mengajak pasien berubah, tapi orang yang berubahnya harus pasiennya sendiri. Dan terus dilakukan secara rutin.
Ada beberapa manfaat CBT, diantaranya adalah untuk orang yang cemas, depresi, bipolar, borderline personality disorder, gangguan makan, obssessive compulsive disorder (OCD), gangguan panik, phobia, post-traumatic-stress disorder (PTSD), schizophrenia, gangguan tidur, penyalahgunaan zat, kondisi fisik (IBS, CFS, Fibromyalgia). Adapun kekurangan CBT diantaranya:
– Komitmen penuh dari klien, tugas konselor disini hanya meyakinkan pasien punya interaksi terapeutik yang baik dengan konselornya. Tapi yang menjalaninya yang memiliki komitmen adalah klien.
– Klien harus dipaksa dan diajarkan kenapa dia harus mengerjakan dan melakukan itu secara konsisten. Hal ini penting karena pasien itu pengennya cepet.
– Disabilitas intelektual ini jika punya kekurangan secara kognitif jelas tidak bisa melakukan ini.
– Kapasitas untuk berubah seberapa besar pasien mau berubah. Hal ini dapat dikombinasikan dengan MI dimana belajar tahap prekonsentrasi kontemplasi preparasi action. Kita bisa nilai kapasitas dia berubah seperti apa lalu modifikasi dengan obat pada pasien yang dengan depresi jika dipaksa menggunakan CBT maka akan kesulitan, maka dari itu harus dibimbing dulu untuk pasien itu mau berobat, lalu jika menghasilkan respon yang baik baru akan diajarkan untuk menganalisis dan mengenali.
– Konfrontasi emosi dengan kecemasan, memang pada awalnya pasti nggak enak memang pasti nggak nyaman memang pasti tidak menyenangkan tapi kita harus mengajarkan pasien kalau kamu berubah, banyak lho dampak positif coba kamu sebutin deh dampak positifnya apa aja paksa pasien untuk tulis, lalu kalau kamu enggak berubah apa sih dampak negatifnya paksa dia untuk tulis. Jadi tetap gunakan Open question sehingga pasiennya bisa diajak untuk berpikir terus-menerus.
Komponen CBT jelas ada kognitif, physical, emotion, dan ada sensasi fisik. Hal ini menyebabkan gangguan yang maladaptif. Biasanya pendekatannya ada sensasi fisik, biasanya muncul juga emosi jadi bisa kognitif, Behavior Physical Sensation atau kognitif behavior dan Emotion yang pada orang dengan cemas pada orang dengan depresi pada orang dengan bipolar pada orang dengan borderline itu maladaptif, jadi responnya salah atau berlebihan.
Yang kita coba cari/penyebab adalah :
– Keyakinan Disfungsional atau namanya Distortion kognitif, jadi ketika pasien merasa sesuatu yang dia yakin dengan benar tanpa pernah dievaluasi dan itu merupakan hal yang salah. Ini bisa ditemukan biasanya pada pasien penyalah guna.
– Perilaku mengenai masa depan yang negatif, jadi kesannya karena karena kita udah melakukan sesuatu yang salah, kita merasa kita gagal, kita merasa tidak berguna tidak bermanfaat seluruh masa depan kita adalah hal yang buruk. Jadi akan selalu akan ada kesialan yang menimpa karena saya penolak sesuatu yang gagal. Itu sering banget Jadi teman-teman mesti mengontrol sebenarnya buah pikir kita masih positif atau sudah terlalu banyak yang negatif.
Prinsip dasar konsepnya adalah :
1. Kita harus bicara mengenai saat ini dan sekarang. Kita tidak bahas lagi masa lalu dengan sangat ekstrim. Contoh konkritnya Ketika saya menggigit kuku, saya terluka dan berdarah, bikin infeksi dan ga nyaman ketika beraktivitas. Saya harus melakukan perubahan nih supaya saya bisa nyaman dalam beraktivitas. sesederhana itu misalnya, Saya harus berhenti menggunakan zat, karena banyak dampaknya apabila terlalu banyak menggunakan zat.
2. Pertanyaan Sokratis (open-ended), contoh “Bagaimana perasaannya ketika kamu berubah?”. Sehingga pasien merasa diberikan dampak positif bagi hidupnya. Mengajarkan pasien untuk bersikap adil pada hidupnya.
3. Tes Belief (Restrukturisasi), mengajarkan pasien untuk mengubah keyakinan dia yang negatif, merestrukturisasi pikiran pasien yang negatif. Sehingga pasien bisa lebih yakin pada dirinya sendiri dan memulai belief-belief baru yang positif.
Distorsi kognitif (contoh) :
1. Emotional Reasoning (perasaan adalah kenyataan), jadi kalau misalnya dibilang ketika seseorang merasa bahwa perasaannya itu benar.
2. All or nothing (semua baik atau semua buruk).
3. Future telling (ramalan).
4. Mind Reading (tahu pikiran orang lain).
5. Mental Filter (menyangkal hal yang positif).
6. Personalisasi (tanggung jawab yang sangat berlebihan).
Jadi ketika kita menganalisis pasien, kita lihat terlebih dahulu negatif kognitif triadnya diri dia sendiri itu apa. Terus untuk orang sekitar dia apa, bagaimana dia melihat orang sekitarnya. Lalu yang terakhir adalah bagaimana dia melihat masa depannya. Ini merupakan 3 negatif triad yang perlu kita koreksi pada pasien, sehingga ia akan merasa baik-baik saja.
Distorsi Kognitif juga biasanya:
1. Berkaitan dengan mood
2. Tidak berlandaskan bukti
3. Diyakini sebagai kenyataan/kebenaran
4. Menentukan respon/reaksi
5. Tidak terevaluasi
6. Pembelajaran masa lalu
Waktu yang ideal dilakukan untuk melakukan CBT biasanya per minggu, atau per 2 minggu. 5-20 sesi, durasi 30-60 menit. Yang terjadi selama sesi: mencatat, analisis masalah, belajar untuk merubah siklus, mengaplikasikan di kehidupan. Buka pikiran melalui SOLVE :
Selectif specific problem (pilih spesifik)
Open your mind to All possible Solutions (Buka Pikiran)
List (Buat daftar)
Verify the best solution by circling your choice (pilihan terbaik)
Enact the solution (memberlakukan solusi)
Decide if your solution worked (putuskan apakah solusi berhasil)
Ada juga aktivitas perilaku yang bisa dilakukan seperti: Mindfulness Meditation; Memvisualisasikan hal baik yang terjadi, Successive Approximation; Merencanakan hal yang menyenangkan. Lalu mulai mempertanyakan pikiran negatif, seperti: Apakah buktinya? Apakah keuntungan dan kerugian dari pola pikir ini? Apakah alternatif pikirannya? Apakah bias pikiran saya?.
Editor : Vika Nurdian Soleha